MK Sosiologi Umum (KPM 130) Rabu, 15 Oktober
2014
Praktikum ke-6 RK CCR 2.16/ Q09.2
Nama/ NIM
Widia Sereniti/
G64140051
Bacaan 7
SISTEM BAGI HASIL DI
JAWA TENGAH
Penelitian Hukum
Pemilikan Tanah di Sebuah Daerah Pertanian Yang Penduduknya Sangat Padat
Oleh : Warner Roell
ANALISA:
1. Kelembagaan sosial
menurut Uphoff (1992)
a.
Sektor public, karena mencakup semua pemerintahan lokal dan
administrasi dengan birokrasi. Contohnya untuk pemerintahan lokal yaitu lurah
atau pemimpin-pemimpin desa yang mempunyai tugas untuk memimpin desanya
tersebut, sedangkan untuk administrasi lokal yaitu badan statistik dan juga
Undang-undang yang mengatur masalah sistem bagi hasil.
b.
Sektor participatory, tidak ada
c.
Sektor private, karena pada sektor ini berupaya untuk
mencari keuntungan dalam bidang jasa, perdagangan seperti organisasi pelayanan
dan bisnis private. Maka untuk organisasi pelayanan seperti peminjaman kredit
dan pemerintahan, yaitu pemilik kredit yang melayani orang-orang yang
membutuhkan uang sedangkan pemerintah sediri sebagai organisasi yang memimpin
desa dan memiliki hak istimewa. Sedangkan untuk bisnis private adalah kegiatan
sewa-menyewa antara pemilik lahan dengan penggarap dan juga antara pemberi
kredit dengan orang yang berhutang.
2. Tingkatan norma
a. Cara (usage)
Dalam menggarap sawah masih menggunakan alat-alat
pertanian yang masih sederhana seperti cangkul, bajak kayu dan lainnya. Bahkan
untuk membajak sawah menggunakan hewan yaitu sapi atau kerbau dan umumnya
mereka tidak memilikinya. Dan juga kebanyakan penggarap memiliki sebuah pondik
sederhana dari bambu dengan pekarangan kecil. Jenis ikatannya lemah karena
dapat berubah-ubah.
b. Kebiasaan (folkways)
Pada sistem bagi hasil terdapat berbagai macam cara
pembagian yang lazim digunakan, seperti: sistem
maro, sistem mertelu, dan sistem mrapat. Dan juga di daerah Surakarta dan
Yogyakarta terdapat sistem sromo dan mesi, dimana pembayaran tambahan uang oleh
penggarap kepada pemilik tanah sebelum memulai penggarapan. Biasanya hukuman
yang diperoleh penggarap adalah malu, karena pemilik lahan menjerumuskan
penggarap ke hutang dan akan di cela untuk pemilik lahan karena
meminta uang kepada penggarap sebelum
menggarap. Jenis
ikatannya adalah kuat karena sudah diakui dan diterima oleh masyarakat.
c. Tata kelakuan (mores)
Pemakaian tanah menurut tradisi yaitu kepemilikan
tanah feodal kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dimana sistem mensyahkan hak
kepamilikan kaum bangsawan di daerah kekuasaannya. Tanah bangsawan diserahkan
kepada penduduk untuk di olah. Tetapi penggarap atau penduduk tidak memiliki
hak kepemilikan tanah tersebut. Jenis ikatannya adalah kuat karena telah diakui
dan telah berjalan sangat lama sehingga menjadi sebuah tata kelakuan.
d. Adat istiadat (custom)
Pengaruh sistem adat istiadat, terhadap pada sistem
bagi hasil yaitu penduduk membayarkan upeti hasil bumi kepada para bangsawan
yang meminjamkan tanah kepada mereka. Biasanya hukuman yang dirasakan adalah
berdosa karena merugikan pihak lain atau dikeluarkan dari lingkungan masyarakat
jika terus menerus merugikan pihak lain. Jenis ikatannya adalah kuat karena
berjalan lama dan telah di lakukan banyak pihak.
3. Kelembagaan sosial yang
berfungsi sebagai kontrol sosial yaitu dengan penghapusan situasi buruk sistem
bagi hasil di Jawa karena hal ini mengakibatkan ekstensi mayoritas penduduk tidak
mencukupi dan juga mengakibatkan kemiskinan terus berlanjut. Kemudian dibentuknya Undang-Undang untuk meningkatkan pendapatan penggarap dan juga perlu
dilakukan penyeimbangan dalam sistem bagi hasil karena pemilik
lahan biasanya akan meminta penggarap untuk membayar uang tambahan sebelum
menggarap,
akibatnya penggarap rugi
bahkan sering meminjam.
0 komentar:
Posting Komentar